Ilustrasi. |
Dakwah kampus itu semacam durian
yang matang. Penuh dengan duri tajam, di tambah jarak yang sangat rapat.
Mencium aromanya dari luar lebih muda ketimbang menyentuhnya dengan
tangan. Belum lagi setiap pohon durian, yang tumbuhnya berbeda-beda. Ada
yang di pinggir sungai dengan tanah yang subur, ada lagi yang di tanah
gersang dengan minim air, selanjutnya ada di tepi jurang yang curam.
Belum lagi gangguan dari si monyet yang serakah. Kondisi yang seperti
itu membuat kuantitas durian menjadi berbeda-beda pada akhirnya. Tapi
walaupun berbeda-beda, pada akhirnya pun durian akan matang. Matangnya
buah durian pun, akan di tandai nikmatnya, segarnya, dan manisnya bila
waktunya tepat. Atau pun sebaliknya jika waktu yang tepat di tandai
dengan buah yang mentah, dan berakhir tak enak di makan. Analogi di atas
mungkin tepat dengan dakwah kampus sekarang ini dalam perspektif.
“Kenapa dan kenapa”, menjadi kata yang penting bagi seseorang yang ingin
mengenal dakwah kampus.
Kampus merupakan tempat proses belajar mengajar baik formal maupun
non-formal. Di seluruh dunia kampus menjadi tempat sentral dalam
menyokong pemimpin-pemimpin di negeri mereka, termasuk juga di
Indonesia. Maka tak heran kampus menjadi tempat berlabuhnya pemikiran,
gagasan, ideologi, dan keyakinan. Sedangkan sistem Islam, mempunyai
semuanya dari ideologi, gagasan, dan lain sebagainya itu hanya sebagian
kecil. Budaya westernisasi dan globalisasi menjadikan kampus menjadi
medan dakwah yang curam, karena segala pemikiran dan ideologi di ajarkan
di situ selain Islam. Tak heran, hakikat manusia yang sudah mengenal
Islam secara kaffah. Akan tahu akan kewajiban dan tugas sebagai manusia,
salah satunya sebagai pendakwah untuk hal yang kecil sampai yang besar
tergantung kapasitasnya. Maka tak heran, banyak mahasiswa yang berjibaku
untuk hal yang kecil dan besar dengan membawa tatanan Islam. Dari
observasi, dapat di lihat bahwa kampuslah tempat latihan dan belajar
yang lebih luas untuk kalangan yang di sebut dengan aktivis dan aktivis
dakwah.
Ketika sudah mengetahui hal-hal apa yang harus di lakukan sebagai
mahasiswa muslim, maka kita sudah belajar mengarungi samudra dakwah
tanpa ujung. Sebelum mengarungi jalan yang tak berujung, harus mengenal
terlebih dahulu;
1. Medan Dakwah
Medan itu secara terminologi ‘’daerah atau tempat’’. Lain medan lain
juga caranya, tidak bisa menggunakan cara yang sama. Medan yang bagus,
subur dan sejuk, ketika menanam lalu menjalar ke mana-mana seperti
jamur, seperti itu jika kita melihat dari kaca mata ideal. Ibarat
contoh, satu orang yang berbuat baik maka semua mengikuti hal yang baik
itu. Jika melihat dari sirah Nabi Muhammad saw, maka selama 13 tahun di
Mekkah yang di dapatkan pengikut-Nya hanya sedikit dan berbanding
terbalik jika kita melihat fase dakwah di Madinah yang seperti jamur.
Artinya cara yang keras bisa di hadapi dengan lembut, begitu pun cara
yang lembut bisa di hadapi dengan lembutkan lagi, dan cara yang terlalu
keras bisa di hadapi dengan lembut atau lebih keras lagi. Mengenal medan
ini sangat penting, untuk bisa mengetahui hakikat Islam yang sudah ada
di dalam jiwa kita.
Kampus yang berbeda-beda, fakultas yang berbeda-beda, prodi yang
berbeda-beda mungkin membutuhkan angin segar yang harus kita cari.
Terkadang apa yang baik ketika mata memandang, ingin di adopsi tanpa
menimbang atmosfir di suatu daerah akan bersifat fatal. Tak jarang
istilah ‘’fanatisme’’ dan ‘’Taklid buta’’, menjadi titel bagi penggerak
roda dakwah di kampus yang mengadopsi tanpa pertimbangan. Dari itu,
sangat penting untuk mengenal medan dakwah apalagi sebagai motor
penggerak di dakwah kampus maupun fakultas. Menembus portal dalam
berpikir itu suatu keharusan, apalagi untuk menemukan kreasi dan kemasan
yang menarik. Menjadi keharusan dalam menjalankan roda dakwah di
kampus. Sebelum melebarkan sayap untuk yang lebih besar. Harus di
ketahui bahwa obyek dakwah ini, manusia bukan barang atau boneka.
Mempunyai sifat yang berbeda-beda dan hati yang tersembunyi. Begitu pun
dengan buah durian, jika di tanah subur maka buah yang di hasilkan akan
banyak. Sebaliknya jika kering dan tandus, maka buahnya pun juga akan
sedikit dan bisa juga lebih buruk lagi.
2. Kuantitas dan Kualitas
Kuantitas dan kualitas acap kali menjadi perdebatan yang tak kunjung
usai di dalam menjalani roda kehidupan baik di dalam peperangan,
corporation, institusi pemerintahan, dan lain sebagainya. Begitu pun
juga dengan dakwah. Kampus juga akan menjadi ladang untuk berbuat
kebaikan, perlu juga motor penggerak atau istilah itu “aktivis dakwah”.
Aktivis dakwah ini yang bergerak di bidang pensyiaran Islam untuk
senantiasa mengajak kepada kebaikan “Amar ma’ruf nah mungkar”. Title
aktivis yang di pakai, bisa di artikan sebagai penggerak atau motor
dalam menjalankan roda dakwah di kampus. Roda dakwah di kampus bisa di
lihat dari organisasi untuk berkontribusi di kampus dan masyarakat. Dari
observasi di ketahui bahwa banyak organisasi yang besar, malah minim
dengan kontribusi. Maka tak jarang istilah “nebeng nama”, sering
menghinggap di kalangan aktivis dakwah saat ini.
Sudut pandang yang berbeda menambah kerumitan dalam dakwah kampus.
Indikator dalam mengukur kuantitas dan kualitas menjadi hal yang penting
di bahas. Padahal jika melihat dari fase Rasulullah saw, maka tak
jarang kita melihat. Bahwa yang sedikitlah yang memenangkan dalam
peperangan dan menjadi unggul, karena jalan-Nya di ridhai Allah swt.
Terlalu bohong lah jika membandingkan dua masa yang berbeda, tapi
setidak-tidaknya menjadi sarana refleksi dalam mengarungi jalan panjang
ini. Batas yang harus di tempuh ialah pemahaman yang menyeluruh dengan
Islam “Islam kaffah”. Sehingga dalam aplikasi lapangan, bisa menjadi
patokan di masyarakat terlepas dari banyak atau sedikitnya penggerak
roda dakwah. Sama halnya juga dengan durian, terkadang satu pohon durian
itu banyak menghasilkan durian dan Ada pula satu yang menghasilkan
sedikit. Tergantung pupuk yang di berikan untuk menghasilkan buahnya.
Tak jarang juga, yang sedikit yang di cari karena di bentuk oleh medan
yang jauh dari jangkauan dan terbatas.
3. Manis atau pahit
Kalau menemukan durian yang manis, maka rasa kecewa akan sirna dalam
wajah dan perasaan kita. Rasa yang tidak sia-sia, telah mengeluarkan
uang untuk membeli durian. Tapi apabila sebaliknya, dalam durian itu
pahit. Maka yang di lakukan pun ialah mengumpat baik secara terucap
maupun dalam hati. Dan rasa kecewa menghinggap melekat di hati, untuk
membuat hal itu semakin dalam ‘terlarut’.
Sedangkan jika kita menjalankan aktivitas dakwah baik di kampus,
maupun pasca. Tak jarang juga kita menemukan hasil yang manis maupun
pahit, tapi bedanya ialah bukan selamanya melainkan hanya sementara.
Hakikatnya dakwah itu ialah meminta semua yang ada di kita, dari waktu,
jiwa, pikiran, harta dan lainnya. Hasilnya pun bukan seperti investor,
jika menanam langsung dapat menikmati dalam jangka waktu tahunan atau
puluhan tahunan. Menjadi keharusan di dalam dada setiap muslim walaupun
satu ayat yang di sampaikan. Tentu menjadi wacana dan gagasan yang besar
untuk menegakkan kemenangan dalam setiap jiwa pribadi muslim yang tak
tahu bahwa dia seorang muslim. Tugas yang amat berat bagi seorang
manusia yang hanya terbalut daging, menjalankan tugas dakwah. Menjadi
sorotan banyak mata yang tak suka dengan Islam, menjadi sampah bagi yang
memandang jika membenci Islam dan menjadi fanatik jika phobia dengan
teroris. Bukan hal yang mudah, tentu butuh tempat belajar yang nyata dan
kampuslah menjadi salah satunya. Dan beginilah jalan dakwah itu.
“Kami sadari jalan ini kan penuh onak dan duri, arah menghadang dan
kezhaliman yang akan kami hadapi. Kami relakan jua serahkan dengan tekad
di hati, jasad ini, darah ini, sepenuh ridha di hati”. Lirik tekad, Izzatul Islam.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Ke Website Kami, Semoga Bermanfaat