Willem Iskandar |
Willem Iskandar, seorang berskala nasional, jauh sebelum Ki Hajar
Dewantara mendirikan Taman Siswa, beliau sudah mendidirikan lembaga
pendidikan untuk menghasilkan guru-guru, yang berbasis kerakyatan
(1862).
Selain seorang seniman, penulis dan tokoh publik pada massa
itu, beliau juga seorang cendikiawan pertama dari tanah Batak yang
menempuh pendidikan formal hingga ke Netherland (tahun 1857). Williem
Iskandar dilihat dari study literature dicerminkan sebagai seorang
tokoh yang sederhana walaupun secara genetic beliau adalah darah biru.
Dalam sejarah pendidikan nasional, nama tercatat secara local tidak
banyak yang mengetahui sejarah beliau secara nasional bahkan di
pun banyak yang tidak mengenal sosok yang satu ini.
Mungkin penyebabnya nama beliau tidak dimasukkan dalam kurikulum
sejarah nasional sebagai seorang pahlawan nasional.
Siapakah Willem Iskandar?
WILLEM
ISKANDAR, Seorang putera raja, budayawan sekaligus sastrawan yang
aktif berjuang menanamkan dasar-dasar semangat pembaharuan di bidang
pendidikan ala Barat dan pemikiran yang pragmatis. Sebagai penyair ia
disebut-sebut 60 tahun mendahului Pujangga Baru. Pantunnya tak terikat
oleh bentuk sajak tertentu. Pada tahun 1978 ia mendapatkan penghargaan
dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Willem
Iskandar lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Tapanuli
Selatan. Nama kecilnya Sati, ia anak bungsu Raja Tinating, Tapanuli
Selatan. Sati mendapat pendidikan ala Barat di Sekolah Rendah
Panyabungan. Sekolah ini didirikan Alexander Philipus Godon, seorang
berkebangsaan Belanda yang bertugas sebagai kontrolir atau asisten
presiden di Mandailing. Sebagai kontrolir ia harus menjalin hubungan
baik dengan Raja Tinating agar tugasnya lancar. Sekolah Panyabungan
itulah yang digunakan Godon untuk mendapatkan perhatian raja-raja
setempat. Guru-gurunya terdiri dari orang-orang Melayu.
Baginda
Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang
isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis
dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang
Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala
Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar dengan
kedudukan yang sama dengan dirinya.
Isteri
kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang melahirkan empat orang
putera yang kelak menjadi raja. Mereka adalah Sutan Panjalinan raja di
Lumbandolok, Mangaraja Lobi raja di Gunung Manaon, Mangaraja Porkas
raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau Mangaraja Sojuangon raja di
Panyabungan Jae. Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot yang
melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja Somorong raja di
Panyabungan Julu dan Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.
Sutan
Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya
menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang,
Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli
Dolok.
Penobatan
tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan
menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah
tersebut terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang
Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap
ayahandanya itu. Sementara itu raja- raja yang berontak eksodus bersama
sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.
Ada
tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Pertama, Sutan
Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang
Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak
disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda
menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni
melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten
Residen Mandailing Angkola, 1848-1857,
Alexander
Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan
ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90
kilometer. Kedua, Sutan Muhammad Natal, yang banyak disebut Multatuli
di dalam Max Havelaar dengan nama Tuanku Natal, seorang raja Natal yang
muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir Natal
(1842-1843). Ketiga, Sati gelar Sutan Iskandar ialah tokoh kita,
Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840.
Tuanku Natal dan Willem Iskander adalah cucu langsung dari Sutan Kumala
Porang, raja Pidoli Lombang.
Pada
usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang
didirikan Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat
menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal
termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang
sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct
inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di
Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun,
menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang
keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.
Salah
satu penemuan saya tentang riwayat hidup Willem Iskander adalah Acte
van bekenheid, ialah Surat Kenal sebagai pengganti Akte Kelahiran.
Dokumen inilah antara lain yang saya pamerkan pada acara peringatan 100
tahun wafatnya Willem Iskander tanggal 8 Mei 1976 di Geliga
Restaurant, Jln. Wahid Hasyim 77C, Jakarta Pusat. Sejak itu masyarakat
mengetahui tarikh kelahiran Willem Iskander, ialah pada bulan Maret
1840 di Pidoli Lombang, Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis
dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang. ( lihat
tulisan Basyral Hamidy Harahap dalam Waspada, Rabu, 18 Mei 1977/Jumadil Awal 1397H )
Akte
ini dibuat oleh sejumlah orang yang memberikan kesaksian tentang
kelahiran Willem Iskander, ialah Arnoldus Johannes Pluggers amtenar
diOnderafdeeling Groot Mandailing en Batang Natal, Johannes Hendrik
Kloesman berusia 50 tahun amtenar yang berdiam di Tanobato, dan
Philippus Brandon usia 40 tahun amtenar yang berdiam di Muarasoma. Akte
bertanggal 28 Februari tahun 1874 ini ditandatangani oleh tiga amtenar
tersebut, kemudian dilegalisasi oleh Residen Tapanuli, H.D. Canne, di
Sibolga. Seterusnya akte ini dilegalisasi lagi oleh Sekretaris.
Ministerie van Kolonien, Henney, di Den Haag pada tanggal 7 Juni tahun
1876.
Nama
Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di
dalam teks Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya
ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun 1858, setahun sebelum ia
belajar diOefenschool di Amsterdam. Seterusnya, nama Willem Iskander
dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah
dll. Jadi adalah salah kalau orang menulis namanya menjadi Willem
Iskandar, yang benar adalah Willem Iskander.
Kecerdasan
Sati menarik perhatian Godon. Ketika tiba masa remaja Sati mendapat
gelar Sutan Iskandar, dan ia diangkat anak oleh keluarga Godon. Saat
itu usianya menginjak tahun ke-13. Pada tahun 1857 Sutan Iskandar
diboyong keluarga angkatnya ke Negeri Belanda.
Di
Belanda namanya berubah menjadi Willem Iskandar, dan ia masuk ke
Oetenschool, sebuah sekolah guru. Salah satu gurunya Prof. H.S. Milles
adalah ahli bahasa dan sastra Timur. Ia berhasil membangkitkan minat
Willem Iskandar untuk mempelajari bahasa dan sastra Timur khususnya
bahasa, huruf dan sastra Batak Mandailing.
Willem
berhasil menamatkan pendidikannya pada tahun 1860, dan tak lama
kemudian kembali ke tanah air. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi
guru bantu di Sekolah Rendah Panyabungan, almamaternya dulu. Pada
tahun 1862 ia mendirikan sekolah guru di Tanobate, yang guru-guru dan
fasilitas sekolahnya banyak didukung oleh profesional asal Belanda.
Pelajaran pokok di sekolahnya adalah fisika, matematika, bahasa Melayu
dan Belanda, sedangkan ekstra kurikulernya antara lain pelajaran sejarah
tanah air.
Willem
mendidik pribadi-pribadi mandiri yang mampu membuat esei dan mahir
menulis surat dalam Bahasa Melayu maupun Belanda. Penguasaan bahasa
dimaksudkan agar muridnya memiliki pengetahuan luas, dan kelak mereka
bisa menjadi guru sekaligus pengarang. Berkat kegigihannya itu Willem
telah meletakkan dasar-dasar pendidikan Eropa untuk kemajuan kaum
pribumi di mada depan. Kendati disibukkan oleh urusan belajar
mengajar, Willem terus mengembangkan kemahirannya menciptakan karya
sastra disamping melakukan penerjemahan karya sastra Belanda.
Willem
Iskander bukan secara kebetulan menjadi pengarang, akan tetapi ia
adalah hasil tempaan dari pendidikan formal dan informal, serta
pengalaman tak terbatas dan bacaan yang luas pula. Intelektualitasnya
yang tinggi, kepekaannya terhadap segala sesuatu yang bergerak di alam
ini, dan kehausannya terhadap ilmu menyebabkan ia tumbuh dan berkembang.
Ia hidup dalam dua dunai. Dunia sekitarnya yang masih terbelakang dan
dunia intelektual yang amat maju di depan. Ia sungguh terlempar ke masa
depan yang amat jauh.
Dalam
situasi seperti itu ia tidak frustrasi, tetapi justru ia merasa
bersyukur berada dalam lingkungan masyarakat yang terbelakang untuk
kemudian dibangkitkannya dengan tekun. Ia bekerja melalui sekolah dan
karangan-karangannya. Sebelum ia mengarang tentu saja ia telah terlebih
dahulu membekali dirinya dengan pengetahuan yang antara lain
diperolehnya melalui bacaan. Dalam hal ini karya-karya Munshi Abdullah
dan Multatuli merupakan bacaannya yang utama, ini dapat difahami, karena
sebagian besar karya-karya Abdullah telah terbit sebelum Willem
Iskander lahir dan beberapa diantaranya terbit ketika ia kanak-kanak.
Kepergiannya
ke negeri Belanja untuk belajar, 1857-1861, memberi peluang yang amat
luas baginya untuk membaca sebanyak-banyaknya karja-karja Abdullah yang
tersedia disana. Telah diketahui bahwa peranan Abdullah dalam sejarah
kesusastraan Melayu/Indonesia amat besar berupa kepeloporannya dalam
melepaskan diri dari tradisi kesusastraan lama yang masih hidup di
sekitar istana. Sekalipun Abdullah belum dapat lepas sama sekali dari
tradisi itu, ia ternyata telah meninggalkan kehidupan istana. Isi
karya-karya Abdullah telah membicarakan hal-hal yang hidup dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, ia menentang setiap kezaliman dan
sekaligus memperhatikan pendidikan pribumi.
Munshi
Abdullah berdarah Arab-Keling, dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang terpelajar. Masa mudanya digunakan untuk belajar bahasa Arab,
Tamil, Inggeris dan Melayu serta agama Islam. Kemudian ia bekerja di
suatu percetakan di Malaka. Karier selanjutnya antara lain sebagai juru
bahasa di kantor Raffles. Pergaulannya yang luas dengan orang-orang
barat menempanya menjadi seorang yang berfikir rasionil lepas dari
ketahyulan. Kepribadian Abdullah seluruhnya tergambar dalam
karangan-karangannya yang amat mengesankan. Kehadiran pengaruh Abdullah
dalam karangan-karangan Willem Iskander dapat dirasakan terutama yang
bertema pendidikan, ketuhanan dan kritik sosial, dan terasa adanya warna
kepribumian yang memperjuangkan bangsa sendiri.
Kumpulan
prosa dan puisinya dimuat dalam buku Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk
yang telah mulai ditulis sejak tahun 1869. Isinya penuturan Willem
perihal sikap luhur manusia di sisi Tuhan. Willem juga menciptakan
karya-karya sastra yang mendobrak kehidupan feodalistis dengan
penuturan yang humoris. Ini tentu saja tak disukai oleh keluarganya
yang berdarah bangsawan. Akibatnya, Willem tak mendapat tanah warisan
secuilpun. Namun pengorbanan Willem itu tak sia-sia. Pada akhirnya ia
justru mampu membangun masyarakat Tapanuli Selatan menjadi
pribadi-pribadi yang kreatif, gemar belajar dan bekerja keras, kritis
dan memiliki semangat nasionalisme yang luar biasa yang otomatis
menempatkan sukuisme jauh di bawah rasa kebangsaan.
Berkat
Willem, rakyat biasa mulai mampu melancarkan protes terhadap
penjajahan melalui pantun ataupun prosa. Pantun atau ende-ende bernada
protes terhadap ketidakadilan itu biasanya digelar di tengah
keramaian, di areal kebun kopi atau sawah saat orang-orang sedang
berkeringat dalam sebuah kerja rodi. Ia wafat tahun 1876, namun baru
pada tanggal 15 Agustus 1978 Willem Iskandar mendapatkan penghargaan
dalam bidang seni dari Menteri Pedidikan dan Kebudayaan. Penerimanya,
ahli warisnya yang khusus datang dari tanah Pidoli Lombang. Karya Si
Hendrik Yang Baik Hati karya terjemahan pertama yang dilakukan Willem
dari buku berbahasa Belanda yang berjudul De Brave Hendrik karya
Gonggrijp.
Pertemuan Willem Iskander dengan Munshi Abdullah dan Multatuli
Kepeloporan
Willem Iskander dalam sejarah pendidikan di Indonesia tidak dapat
diragukan lagi. Hal ini bukan saja telah terbukti dalam arsip-arsip
abad yang lalu, tetapi juga telah diulas orang dalam karangan ilmiah,
dalam disertasi, bahkan telah dicanangkan oleh berbagai mass media di
Jawa dan Belanda satu abad yang lalu. Ia terpendam begitu lama, dan
sekarang penulis sedang sibuk mengadakan penelitian tentang tokoh ini
untuk membuka tabir masa silamnya yang selama ini masih gelap.
Willem
Iskander bukan saja menjadi guru di kelas, tetapi ia juga benar-benar
menjadi pelopor modernisator, yang berusaha keras memerangi
keterbelakangan bangsa melalui kontaknya yang akrab dengan masyarakat
di sekitarnya. Tano Bato di kaki gunung Sorik Marapi tumbuh sebagai
pusat modernisasi satu abad yang lalu, dari tempat ini Willem Iskander
mencetak banyak cendekiawan muda yang kemudian tersebar ke pusat-pusat
pemerintahan di Sumatra. Ia bukan saja mencetak cendekiawan guru, tetapi
sekaligus menghasilkan guru pengarang, seperti dirinya.
Di
Kweekschool Tanobato, Willem Iskander juga mengajar kesusastraan
Melayu. Dalam matapelajaran ini ia mewajibkan kepada murid-muridnya
untuk membaca dan memahami "Panja tandaran yaitu hikayat Kalillah dan
Daminah". Karya ini diterjemahkan oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
dengan bantuan sahabatnya Tambi Muttu Virabattar di Malaka, dan
diterbitkan pada tahun 1838. Pengajaran kesusastraan Melayu yang
diberikan oleh Willem Iskander pada ketika itu, mutunya sudah tinggi.
Murid-muridnya sama sekali tidak mengalami kesukaran untuk memahami
karangan-karangan berbahasa Melayu, karena bahasa dan kesusastraan
Melayu merupakan salah satu matapelajaran yang penting disamping bahasa
Mandailing dan bahasa Belanda. Dari kemampuan berbahasa ini,
murid-muridnya memiliki cakrawala yang luas. Mereka kemudian bukan saja
menterjemahkan dan menyadur, tetapi juga mengarang sendiri. Kemampuan
mengarang dan menterjemahkan murid-muridnya, dibinanya antara lain
dengan memberikan tugas-tugas sekolah untuk menterjemahkan karya-karya
yang mereka senangi, yang kamudian dibicarakan bersama sebelum siap
untuk diterbitkan. Karya-karya mereka ini tidak terbatas pada bahasa dan
sastra, tetapi juga dihasilkan buku pelajaran berhitung yang kemudian
dipakai di sekolah rendah pada ketika itu.
Willem
Iskander bukan secara kebetulan menjadi pengarang, akan tetapi ia
adalah hasil tempaan dari pendidikan formil dan informil, serta
pengalaman yang luas dan bacaan yang luas pula. Intelektualitasnya yang
tinggi, kepekaannya terhadap segala sesuatu yang bergerak di alam ini,
dan kehausannya terhadap ilmu menyebabkan ia tumbuh dan berkembang. Ia
hidup dalam dua dunai. Dunia sekitarnya yang masih terbelakang dan
dunia intelektuil yang amat maju di depan. Ia sungguh terlempar ke masa
depan yang amat jauh. Dalam situasi seperti ini ia tidak frustrasi,
tetapi justru ia merasa bersyukur berada dalam lingkungan masyarakat
yang terbelakang itu untuk kemudian dibangkitkannya dengan tekun. Ia
bekerja melalui sekolah dan karangan-karangannya. Sebelum ia mengarang
tentu saja ia telah terlebih dahulu membekali dirinya dengan pengetahuan
yang antara lain diperolehnya melalui bacaan. Dalam ini karya-karya
Abdullah merupakan bacaannya yang utama, ini dapat difahami, karena
sebagian besar karya-karya Abdullah telah terbit sebelum Willem Iskander
lahir dan beberapa ketika ia kanak-kanak.
Kepergiannya
ke negeri Belanja untuk belajar, 1857-1861, memberi peluang yang amat
luas baginya untuk membaca sebanyak-banyaknya karja-karja Abdullah yang
tersedia disana. Telah diketahui bahwa peranan Abdullah dalam sejarah
kesusastraan Melayu/Indonesia amat besar berupa kepeloporannya dalam
melepaskan diri dari tradisi kesusastraan lama yang masih hidup di
sekitar istana. Sekalipun Abdullah belum dapat lepas sama sekali dari
tradisi itu, ia ternyata telah meninggalkan kehidupan istana. Isi
karya-karya Abdullah telah membicarakan hal-hal yang hidup dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, ia menentang setiap kezaliman dan
sekaligus memperhatikan pendidikan pribumi. Abdullah yang berdarah
Arab-Keling ini, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar.
Masa mudanya digunakan untuk belajar bahasa Arab, Tamil, Inggeris dan
Melayu serta agama Islam. Kemudian ia bekerja di suatu percetakan di
Malaka. Karier selanjutnya antara lain sebagai juru bahasa di kantor
Raffles. Pergaulannya yang luas dengan orang-orang barat menempanya
menjadi seorang yang berfikir rasionil lepas dari ketahyulan.
Kepribadian Abdullah seluruhnya tergambar dalam karangan-karangannya
yang amat mengesankan. Kehadiran pengaruh Abdullah dalam
karangan-karangan Willem Iskander dapat dirasakan dalam
karangan-karangan Willem Iskander yang bertema pendidikan, ketuhanan dan
kritik sosial, dan terasa adanya warna kepribumian yang memperjuangkan
bangsa sendiri.
Kisah
perjalanan Willem Iskander dari Batavia, ketika ia pulang tahun 1861,
menuju Padang Natal, Muara Soma, dan akhirnya di Pidoli Lombang,
mengingatkan penulis pada gaya Abdullah mengisahkan perjalanannya. Ia
menyebut orang-orang yang ditemuinya di Batavia, dan tempat-tempat yang
dikunjunginya, ia juga bicara tentang kapal perahu dan kuda yang
ditumpang dan ditungganginya. Suasana disekitarnya digambarkan dengan
sederhana dan sentimentil. Berbicara tentang warna karya Willem
Iskander, tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang karya Multatuli
yang terkenal Max Havelaar. Kita juga dapat melihat kehadiran Multatuli
di dalam karya-karya Willem Iskander terutama dalam hal ketajaman
kritik sosial dan kekocakannnya. Kekocakan adalah tempatnya melindungi
kritik yang satiris, ia dapat bermakna macam-macam. Bait ke 12 sajak
Mandailingnya yang berbunyi:
aslinya:
Adong alak ruar
Na mian di Panyabungan
Tibu ia aruar
Baon ia madung busungan
terjemahannya:
Ada orang luar
Yang berdiam di Panyabungan
Cepat ia ke luar
Sebab ia sudah buncit
dapat diintepretasikan sebagai berikut:
Interpretasi
yang paling dominan diberikan oleh masyarakat Tapanuli Selatan sebagai
berikut: Penjajah Belanda yang berdiam di Panyabungan, segera
meninggalkan daerah ini setelah ia berhasil mengeruk kekayaan pribumi.
Bait
yang sama diinterpretasikan pula, bahwa kepergian orang asing/luar
yang berdiam di Panyabungan itu disebabkan oleh penyakit malaria yang
membuat perutnya buncit (aloton dalam bahasa Mandailing). Interpretasi
ini masuk akal pula, karena cuaca Panyabungan yang lembab dan tidak
sehat itu telah pula lama diketahui oleh orang Belanda dan banyak
muncul dalam laporan-laporan resmi atau laporan perjalanan pada awal
abad yang lalu. Ketidaksehatan udara Panyabungan ini pula yang
menyebabkan pejabat-pejabat Belanda berdiam di Tano Bato di suatu
pasanggarahan, sekalipun mereka berkantor di Panyabungan sebagai pusat
pemerintahan.
Adapun
interpretasinya, sajak ini mengandung kritik juga sekaligus menantang
suatu usaha besar untuk meniadakan malaria di kawasan itu, misalnya
dengan jalan melebarkan muara Batanggadis dan Batang Angkola yang
bertemu pada suatu muara yang sempit di timur Singkuang. Kita lihat
betapa besarnya tantangan ini dan betapa tidak usangnya tantangan ini,
karena sampai kini kita belum berhasil menjawabnya. Disinilah antara
lain kebesaran Willem Iskander, yaitu kemampuan dan kesediaannya untuk
bertanya, dan sekaligus kekerdilan kita yang belum mampu menjawabnya.
Gaya ini juga dimiliki oleh Multatuli yang sampai sekarang belum
terjawab, sekalipun ia kemukakan satu abad yang lalu.
Tokoh
Multatuli pasti salah satu diantara sekian orang yang paling dikagumi
oleh Willem Iskander. Kita mulai melihat hubungan itu dari kehadiran
Multatuli di Natal sebagai kontroler 1842-1843. Di daerah ini pada
ketika itu hidup suasana kehidupan yang penuh dengan intrik antar
kepala-kepala bumiputra, dimana Douwes Dekker, alias Multatuli, terpaksa
terlibat didalamnya. Disini ia amat menderita, yang ditambah lagi
dengan pemanggilannya ke Padang dimana ia diterlantarkan. Sang Yang di
Pertuan Huta Siantar di Mandailing merupakan tokoh yang tidak asing
baginya. Tokoh yang terakhir ini adalah keluarga dekat Willem Iskander
sendiri, yang mau tidak mau juga pernah bercerita kepada Willem Iskander
tentang tokoh Douwes Dekker. Douwes Dekker mulai bekerja di Natal
untuk menggantikan seorang kontroler yang masa dinasnya telah selesai.
Ayah mertua dari sang kontroler yang habis tugas itu adalah bekas
Asisten Residen Mandailing Angkota yang dipecat oleh Gubernur Pantai
Barat Sumatra, Jenderal Mitchiels. Pemecatan sang Asisten Residen
adalah akibat oleh Sang Yang Dipertuan Huta Siantar yang mendesak
gubernur untuk menyingkirkan orang-orang Belanda dan
pengikut-pengikutnya di Natal. Perihal ini dikisahkan oleh Multatuli
dan Max Havelaar bab XIV.
Tokoh
Douwes Dekker yang kita yakin sudah didengar oleh Willem Iskander dari
Sang Yang Dipertuan Huta Siantar, kembali menjadi perhatiannya ketika
Max Havelaar diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1860 di negeri
Belanda. Ketika itu Willem Iskander sudah berada 3 tahun di negeri
Belanda, dan secara kebetulan buku yang amat menggemparkan kalangan
pemerintah dan parlemen Belanda itu, diperdebatkan dalam sidang yang
sama di Tweede Kamer pada tahun 1860 dengan Willem Iskander.
Pembicaraan tentang Max Havelaar dan Willem Iskander adalah masalah
pembiayaan atau tujuan pendidikannya. Tetapi sukar untuk disangkal dari
perhatian Willem Iskander, karena selain karya ini banyak bicara
tentang dua tokoh famili dekatnya yaitu Sang Yang Dipertuan Huta
Siantar dan Patuan Natal, buku ini juga benar-benar menggemparkan
seluruh negeri.
Masih
dalam tahun 1860 terbit pula karya Multatuli di Arnhem, dimana Willem
Iskander juga pernah belajar, yang berisi a.l. surat-surat dengan judu
"Indrukken van den dag". Disini Douwes Dekker alias Multatuli juga
bicara tentang Sang Yang Dipertuan Huta Siantar, seorang tokoh yang
rupanya tak terlupakannya. Kita yakin bukan dua buku ini saja
karya-karya Multatuli yang dibaca oelh tokoh kita Willem Iskander,
tetapi juga yang lain yang terbit sebelum 1872.
Apabila
Abdullah mempengaruhi Willem Iskander untuk melepaskan diri dari isi
karangan yang berkisar kehidupan istana, maka ia mendapat pengaruh isi,
semangat dan bentuk dari Multatuli. Ia tidak mengikut Abdullah dalam
hal bentuk, karena dalam menulis Abdullah masih menggunakan bentuk
syair. Untuk memahami Willem Iskander melalui karya-karyanya,
diperlukan suatu studi yang mendalam tentang sejarah, kebudayaan,
politik pada abad ke 19, tetapi juga tidak dapat diungkiri keharusan
mempelajari karya-karya Abdullah dan Multatuli. Pertemuan Willem
Iskander dengan Abdullah dan Multatuli telah banyak mewarnai
karya-karya Willem Iskander. Dengan kemampuannya, menyebabkan lahirnya
Willem Iskander sebagai Willem Iskander, bukan Willem Iskander ala
Abdullah atau Multatuli. Bahkan tidak berkelebihan apabila tempat
Abdullah sebagai pelopor kesusastraan Melayu/Indonesia modern ditempati
oleh Willem Iskander. Willem Iskander adalah pribumi yang menulis di
baris depan yang menulis puisi-puisi modern dalam salah satu bahasa
Nusantara.
WILLEM ISKANDAR DALAM PERSPEKTIF GENERASI MUDA?
Dua tahun terakhir ini penulis indekost di
Medan untuk sekolah lagi di Unimed. Ketika berada di medan
(jumat-minggu), hampir setiap petang, penulis melintas di jalan Willem
Iskandar. Menurut penuturab msyarakat Kawasan jalan Willem Iskander 40
tahun silam, masih merupakan perkebunan tembakau. Kini di atasnya
berdiri beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta dan beberapa
sekolah tingkat menengah pertama. Tidak heran bila pada jam-jam pulang
sekolah, jalan Wille Iskander dipadati mahasiswa dan pelajar, berebutan
menaiki angkot berlapis memenuhi badan jalan, menyebabkan jalan jadi
macat. Willem Iskander. Seberapa masyhurkah dia dikalangan pelajar dan
insane kampus?
Pengamatan
penulis, ternyata banyak juga para pelajar dan mahasiswa yang menuntut
ilmu di sekitar jalan Willem Iskander, tak tahu siapa sebenarnya
Willem Iskander. Iseng-iseng hal itu pernah penulis tanyakan kepada
salah seorang mahasiswa dan beberapa pelajar sekolah menengah pertama,
kebetulan satu angkot dengan penulis. Mereka yang penulis tanya
menggelengkan kepalanya tanda tak tahu. Begitu juga sewaktu penulis
singgah di salah satu warung bakso dorong di dekat salah satu kampus.
Abang penjual bakso juga tak tahu siapa Willem Iskander. Malah ada yang
mengatakan Willem Iskander itu adalah orang Belanda yang dulu berkuasa
di perkebunan tembakau Deli.
Tidak
mengherankan, bila generasi sekarang banyak yang tidak tahu siapa
sebenarrnya orang bernama Willem Iskander, kemudian oleh pemerintah
nama tersebut di abadikan menjadi nama jalan menuju ke kampus Unimed,
IAIN, Universitas Amir Hamzah dan kampus lain di wilayah Medan Estate.
Pemahaman
sejarah tentang kepahlawan para pejuang bagi siswa di Sumatera Utara
sangat memprihatinkan. Banyak siswa yang tidak mengenal para pahlawan,
khususnya pahlawan asal Sumut dalam pembelajaran sejarah di Indonesia,
padahal tokoh-tokoh ini memiliki kontribusi yang sangat besar pada
perjuangan bangsa ini.
Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan, Dr(phill). Ichwan Azhari
mengatakan, hingga kini terdapat tujuh pahlawan nasional dari Sumatera
Utara yakni Sisingamangaraja XII, Adam Malik, Amir Hamzah, AH
Nasution, Kiras Bangun, FL Tobing, Muhammad Hasan dan satu pahlawan
revolusi yaitu DI Panjaitan.Mereka disebut sebagai pahlawan nasional
dan revolusi ini dinilai memiliki kontribusi sangat besar dalam
memperjuangkan, mengisi dan mempertahankan ke-Indonesia-an, sehingga
nama mereka dicatat dalam pelajaran Sejarah Indonesia dan wajib
diketahui para pelajar.
Namun
menurut sejarawan ini, beberapa nama yang juga layak dikenal sebagai
pahlawan Sumut tapi kurang dikenal dalam Sejarah Nasional Indonesia, di
antaranya Datuk Sunggal (pemimpin Perang Sunggal), Bedjo (pemimpin
Pertempuran Medan Area), Raja Sang Na Ulauh Damanik (tokoh dari Siantar
yang menolak kolonial di Siantar).Selain itu Raja Rondahaim Saragih
(tokoh dari Raya yang menolak kolonial), Sultan Mahmud Perkasa Alamsjah
(tokoh pembangun Kota Medan), Parada Harahap (tokoh pers Sumatera
Utara), Adinegoro (tokoh pers Sumatera Utara), Willem Iskandar (tokoh
pendidikan), Abdoellah Loebis (tokoh pendidikan) dan Raja Orahili dari
Nias. "Mereka kurang dikenal karena nama-nama mereka tidak pernah masuk
sebagai muatan materi kurikulum pembelajaran sejarah nasional,"
ujarnya.
Untuk
itu, sudah seharusnya kurikulum pembelajaran sejarah lokal yang memuat
materi-materi lokal harus diperkenalkan kepada pelajar, sehingga dapat
mengetahui lebih luas tentang pejuang, tokoh dan pahlawan daerahnya.
Menurutnya hal ini penting terutama untuk menghilangkan pelajar yang
tidak mengenal pahlawan daerahnya, demikian pula untuk mencari
simpul-simpul perjuangan antara nasional dan daerah, maupun daerah
dengan daerah."Dari sana kemudian akan diketahui bahwa masing-masing
daerah memiliki perjuangan yang sama untuk membentuk negara Indonesia.
Apabila pelajar hanya 'dicecoki' dengan kurikulum yang disebut dengan
kurikulum nasional, maka pelajar di daerah tidak akan menemukan bahwa
daerahnya juga memiliki peran yang sangat nyata dalam membentuk
keindonesiaan itu", jelas Ichwan. Lebih berbahaya lagi, kata Ichwan
adalah dalam pikiran mereka terbentuk suatu mata rantai perjuangan yang
putus, bahwa kemerdekaan itu diperoleh dengan tanpa upaya dari
tokoh-tokoh, pejuang dari daerahnya. Karena itu sudah saatnya kurikulum
sejarah membuat materi-materi lokal, sehingga para pelajar tersebut
akan mengetahui sejarah daerahnya.
Penutup
Mungkin tidak ada satu orang pun tokoh bangsa ini yang semasa hidupnya ingin ketika sudah wafat namanya
tertulis dalam sejarah bangsa, karena mereka sadar perjuangan mereka
dilakukan secara iklhas bukan mencari popularitas. Tapi sebagai generasi
bangsa yang cinta terhadap founding father negara ini harus mencintai sejarah termasuk mencintai tokoh-tokohnya.
Sangat
disayangkan tokoh sekaliber Willem Iskandar, tidak terpatri dalam jiwa
generasi muda yang ada di negara ini. Banyak yang tidak mengenal,
tidak mengetahui, bahkan tak mau ambil pusing tentang siapa WILLEM ISKANDAR. {binhakim/lsmlismit}
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Ke Website Kami, Semoga Bermanfaat