Meraih cinta sejati dalam
keharmonisan suami isteri merupakan dambaan setiap pasangan. Seorang suami
mendambakan isteri yang akan mencintainya dengan sepenuh hati, begitu pun
sebaliknya. Keduanya menginginkan agar cintanya langgeng sampai akhir hayat.
Masalahnya, bisakah kita mendapatkan cinta seperti itu kalau
masing-masing pasangan tidak mengenal lebih jauh siapa calon pasangannya.
Menurut mereka, kenal nama, wajah, keluarga calon pasangan saja belum cukup.
Tapi, harus kenal lebih jauh bagaimana karakter asli calon pasangannya, agar
tidak ‘kecele’ di kemudian hari.
Pemikiran inilah yang akhirnya ‘menghalalkan’ begitu banyak
orang untuk melakukan pendekatan. Biasanya orang menyebut dengan pacaran. Ada
yang merasa belum cukup sebulan, setahun, dua tahun, hingga sepuluh tahun.
Lebih repot lagi ketika ujung hubungan ini berakhir pada PHC atau pemutusan
hubungan cinta. Alih-alih mendapatkan rasa saling memahami, justru yang ada
menjadi saling benci dan ancam.
Pemikiran yang terlihat positif ini, sebenarnya sangat mudah
untuk didompleng berbagai kepentingan. Utamanya adalah setan untuk membejatkan
nafsu manusia, baik pria maupun wanita. Sehingga, pacaran menjadi seperti
‘legitimasi sosial’ pemuasan nafsu syahwat pria dan wanita. Pada akhirnya,
karena sudah sangat membudaya, pacaran menjadi kelaziman hingga keharusan untuk
calon pasangan suami isteri.
Terdengar menjadi sangat aneh ketika pria dan wanita memasuki
gerbang pernikahan tanpa melalui pacaran sama sekali. “Kayak beli kucing dalam
karung,” begitu kira-kira ungkapan sebagian orang Betawi.
Pertanyaannya, kalau pacaran memang dilarang Islam, apakah
mungkin bisa terjalin cinta sejati antara suami isteri, padahal mereka tidak
saling kenal lebih jauh jatidiri masing-masing. Apakah tidak akan terjadi
penyesalan di kemudian hari. Kalau ketidakcocokan di saat pacaran kan bisa
diputus, lalu gimana kalau ketidakcocokan ketika sudah menikah, apalagi ketika
sudah punya anak?
Logika-logika awam seperti ini kerap muncul dan menjadi ganjalan
seorang lajang muslim untuk menapaki gerbang pintu pernikahan. “Bisa gak sih
nikah tanpa melalui pendekatan atau pacaran?”
Sepintas, logika awam seperti itu mengandung sebuah kebenaran:
Hubungan pernikahan adalah hubungan yang sangat spesial antara pria dan wanita
yang tidak punya batasan waktu, karena itu mesti dilakukan dengan hati-hati,
dan melalui pendekatan yang dalam. Tapi lihatlah, bagaimana akhir dari sepak
terjang kaum selebritis yang gonta-ganti pasangan karena ingin mendamba rumah
tangga yang harmonis. Kebanyakan dari rumah tangga mereka hanya seumur jagung.
Perhatikanlah apa yang disampaikan Yang Maha Pencipta dan Maha
Tahu terhadap ciptaan-Nya. Dalam Alquran, Allah swt. memberikan sebuah rumusan
tentang menggapai cinta yang baik dan benar antara pria dan wanita.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 21, Allah swt. berfirman.
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”
Perhatikanlah ayat itu. Allah swt memberikan isyarat kepada kita
bahwa jodoh atau pernikahan merupakan sebuah pintu untuk bisa mendapatkan
ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Bukan sebaliknya, memburu ketenangan,
cinta, dan kasih sayang terlebih dahulu, baru kemudian memasuki pintu
pernikahan.
Hal yang sebaiknya kita pahami adalah bahwa cinta yang didasari
pada faktor biologis seperti cantik atau ganteng, cocok dan menarik karena
hal-hal yang terlihat dari fisik seseorang, begitu sangat relatif. Penilaian
mudah berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi.
Ketika seorang lelaki dan wanita terkondisikan dalam sebuah
ruangan secara rutin, akan muncul rasa ketertarikan. Padahal boleh jadi,
keduanya sudah punya calon masing-masing di tempat lain. Ketertarikan yang
memunculkan cinta pria dan wanita bisa berubah tergantung keadaan yang
membentuknya.
Karena itu, ketika seorang pria dan wanita yang sudah terikat
dalam pernikahan, akan terkondisikan secara alamiah untuk saling memunculkan
rasa ketertarikan dan cinta. Pada situasi dan kondisi ini, ketertarikan dan
cinta mereka akan lebih kuat karena didorong oleh tanggung jawab atau amanah.
Bandingkan dengan pengkondisian yang dilakukan pada saat pacaran: tanpa beban, bahkan
mungkin sekadar iseng, dan coba-coba.
Hal lain yang bisa dipahami dari ayat di atas adalah meraih
cinta dengan cara pernikahan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya ikatan
keimanan yang bagus kepada Allah swt. Allah mengawali ayat ini dengan menyebut
tanda-tanda kebesaran-Nya yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang punya
kacamata iman. Tanpa kacamata ini, seorang pria atau wanita hanya akan saling
memandang dan menilai dengan kacamata nafsu syahwat saja.
Ketika pintu pernikahan sudah di depan mata, ketika kemantapan
untuk mengarungi bahtera rumah tangga sudah begitu mantap, selebihnya adalah
tawakal kepada pemilik bahtera yang sebenarnya, Allah swt. Insya Allah,
keraguan terhadap hal-hal yang akan mengurangi cinta dari calon pasangan kita,
bisa berupa wajah, penampilan, status sosial, dan lain-lain, akan tergantikan
dengan keberkahan lain.
Allah swt. menjanjikan itu dalam firman-Nya di Surah An-Nisa
ayat 19.
فَإِن
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
“…bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.”
Dari bahasan di atas, Insya Allah, tidak muncul lagi pertanyaan
yang kerap menyesatkan proses pernikahan itu sendiri: “Pacaran dulu? Atau nikah
dulu?”. (muhammadnuh@eramuslim.com)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Ke Website Kami, Semoga Bermanfaat